![]() |
http://charaaw.blogspot.co.id |
Aku pernah mati sekali.
Sedang kini, aku menghadapi kematianku yang kedua.
Aku
terpaku pada sudut asing yang memasung otak. Asing yang menyesatkanku dalam
labirin panjang.
Menjauhkanku dari diksi, metafor dan narasi yang beku. Aahh, sajak. Narasi. Aku
meramu dengan bumbu penyedap yang terlalu asin. Bahkan hingga terasa pahit.
Jari-jariku telah lama mati. Tak menyuarakan apa pun. Apa pun yang ada dalam
otak tumpulku. Deretan buku di rak yang selalu menggoda tak lagi mampu merayu.
Lagi, aku terdampar dalam kematian yang kelabu.
“Nara,
menurutmu sosok Sapardi Djoko Damono itu seperti apa?” tanya Riska masih
mendebatkan hal yang sama. Mendebatkan sosok HAMKA, Taufik Ismail, Chairil
Anwar, W.S Rendra, dan sederet nama yang sering kita jumpai dalam kitab lusuh
yang diberikan dosen.
Benar-benar
lusuh. Kami sebagai mahasiswa tak pernah disuguhkan buku bersampul mengkilap
dengan kata-kata seperti mantra. Kata-kata yang mampu menyihir, bahkan hanya
dengan membaca judulnya. Hanya lembaran-lembaran putih yang kami salin dari
papan tulis. Bukankah kita kuliah untuk mendapatkan fasilitas yang memadai?
Jika kita tak mencari bahan lain untuk dibaca, darimana asal pengetahuan yang
dijunjung begitu tinggi? Itu pun terkadang tidak sesuai dengan ilmu yang ia
terapkan.
Sistem yang aneh. Orang itu
hanya berkoar tentang teori kosong. Teori yang telah tergeser pada kenyataan
modern yang mengerikan. Bukankah hal serupa yang membuat otakku beku? Beku pada
kenyataan yang mengerikan. Seperti Izra’il yang bersiap mencengkramku dari
berbagai sudut kelam. Menyeretku pada kematian kedua.
“Nara, kau bisu?”
Sunyi.
Tak ada kata yang mampu aku suarakan.
Otakku membeku. Sedang gadis berjilbab yang duduk di sebelahku masih tafakur
dengan buku yang ada dalam genggamannya. Sesekali melirikku yang tak berkata
sepatah pun. Bahkan hanya untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Nyatanya
sunyi memasung bibir. Aku tak tertarik berdebat dengannya tentang sosok yang
begitu ia kagumi. Aku pun mengaguminya. Tidak untuk berdebat kali ini.
“Dia
sosok yang pendiam, hampir tak banyak bicara. Kau pernah baca sajaknya? Siapa
pun akan tersihir dengan ramuan sajak yang ia tulis,” kata Riska pelan.
Entah
pada siapa ia berkata. Semacam kalimat yang hanya akan menjadi kesia-siaan.
Memantul pada kosong yang justru membuatku menderita pada kematian. Kematian
kedua yang menjeratku.
Aku pernah mendengarnya Riska. Mereka yang berkisah tentang sosok yang
kau kagumi itu. Tapi kali ini, aku tidak ingin mendebatkannya denganmu. Batinku berteriak pilu.
“Kau
tahu sajaknya yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti?” suara Riska
menunjukkan semangat yang tak memudar. Memancingku untuk berbicara, atau
semacam berusaha memunculkan sepatah kata. Otakku terlalu beku untuk berbicara
kepadanya. Dalam hal apapun.
“Menurutku,
kau bisa menjadi seperti dia Nara. Aku melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Tak
banyak orang lain mempunyai apa yang ada dalam dirimu. Keteguhan hati, kerja
keras dan...”
“Tidak,
kau tidak mengerti kali ini.” Mendengar pernyataan Riska aku terusik. Pada
akhirnya aku menumpahkan kekesalan yang semakin kuat mencengkram hatiku. “Kau
tak tahu, Ris. Sebagian dalam tubuhku telah mati.”
“Siapa
bilang? Kau masih mampu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen itu ‘kan?
Itu tandanya kau belum mati. Mungkin, semacam bunga layu.”
“Pembicaraan
kita tak masuk akal, Ris. Sebaiknya aku pulang.”
Aku
melenggang meninggalkan kelas yang sudah sepi. Riska tak menahan langkahku. Dia
tahu, sebagai teman yang bisa memahamiku, dia tahu jika aku tak perlu
membicarakan apapun dengannya. Tidak juga kekacauan dalam diriku.
* * *
“Pengkhayal!” teriakan itu
masih terpasung dengan jiwaku. Menyesatkan aku pada beku yang membuatku
menggigil. Menuju kematianku.
Aku
pernah mati sekali. Kematian
yang mencabik setiap desir jantung hingga membuatku lumpuh. Tak berdaya di
bawah sorot mata pembunuhku. Pembunuh yang tidak hanya menikamkan belati
berkali-kali, tapi juga menyayat setiap jengkal isi otakku. Memburainya dan
entah ia buang kemana. Kini, aku menghadapi kematianku yang
kedua. Kematian yang
bahkan lebih menyakitkan daripada kematianku yang pertama.
Kau
tak percaya jika aku pernah mati? Kau tak percaya jika aku kini menghadapi
kematianku yang kedua? Tapi sungguh, aku pernah mati sekali. Sekarang aku
menghadapi kematianku yang kedua.
Aku pernah mati sekali.
Kematian yang membaurkan luka busuk hingga detik ini.
Kematian yang menjadikan
otakku mengering. Kematian yang menghancurkan organ dalam tubuhku. Hati. Bukan jasad yang membusuk.
Menghilangkan ruh dan juga raga yang rentan. Bukan seperti itu kematian yang
kuhadapi.
Kematianku
yang pertama. Dia yang membawakannya. Seorang iblis lelaki yang juga memiliki darah yang kumiliki. Ketika
malam, ia mengendap-endap dalam kamar. Mencari sekotak imajinasi yang aku
sembunyikan di otakku yang tak pernah berhenti bermimpi. Ia mengeluarkan
belati. Menusukku berkali-kali. Memburai isi otakku. Mencuri kotak imajinasiku
dan melenyapkannya. Entah kemana.
“Pengkhayal! Mau jadi apa
kamu!”
Suaranya menjadi gaung. Pada
dinding-dinding kamar. Pada sap-sap otakku. Pada setiap inchi hati yang telah
ia tikam belati. Bahkan ketika aku bermimpi sedang berdiskusi dengan Chairil
Anwar, Selasih, maupun Abdul Muis. Suara itu menjadi gaung yang menjadikanku
hampir gila.
“Pengkhayal! Ibu
menyekolahkanmu bukan untuk menjadi pemimpi! Kau, satu-satunya anak yang
beruntung. Bisa sekolah hingga perguruan tinggi. Apa hanya untuk jadi seorang
pengkhayal?”
Suaranya menjadi ritme yang berdegub seirama jantungku.
Suara yang mendamparkan aku ada kematian. Mematahkan semacam impian. Impian
yang telah aku pahatkan dalam hati. Sejak aku terbiasa meramu sajak dengan
bumbu pelengkap semacam diksi dan metafor yang selalu menari. Tapi dia
membawakan kematian untukku. Ia remukkan semua metafor dan diksi yang kurayu
dengan sarkasme. Sarkasme yang mendengking dalam telingaku.
Coba kau tebak bagaimana aku
bisa hidup dari kematian? Tak mudah. Mungkin ini pembalasan dendam untuk kematianku. Suatu
malam, aku membuntuti kemana ia pergi. Haha, aku tertawa saat menyadari tampat
ia menyembunyikan kotak imajinasiku. Cerdik juga. Pantas saja aku tak pernah
tahu dimana kotak imajinasiku ia sembunyikan.
Atap rumah. Satu-satunya tempat yang tak aku pikirkan.
Susah payah aku merebut kotak imajinasi yang ia sembunyikan. Dia memang cerdik.
Mana mungkin aku menjejaki atap rumah yang dijaga anjing berkepala tiga semacam
Cerberus dan sosok perempuan berambut
ular semacam Medusa. Kau
membayangkannya? Sebelum aku
berhadapan dengan mereka, aku harus menjajaki tembok-tembok
tinggi agar mampu mencapai atap– tempat
menyimpan kotak
imajinasiku. Tembok tinggi yang tak hanya dipenuhi pecahan
beling. Juga duri tipis tak terlihat. Duri yang setiap saat mampu menusuk dan
melukai.
Aku
mencurinya, kotak imajinasi
yang ia sembunyikan di atap rumah. Ketika ia tertidur dan lupa mengunci tempat
menyimpan kehidupanku. Hidup. Aku hidup dari kematian pertamaku.
Kini
aku menghadapi kematian yang kedua...
Otakku
beku. Tak ada fiksi dan narasi yang mampu aku wujudkan. Tak ada diksi dan
metafor yang mampu aku tuliskan. Mereka berlari. Meninggalkan aku pada sudut
asing. Menyesatkanku dalam labirin pangjang yang semakin berliku. Darah
menyerap siksa yang merasuk dalam tubuh. Kematian yang menyakitkan. Sedang
dosen di depan kelas terus berorasi. Menyerukan teori-teori dari buku yang
telah menguning.
Aku
semakin beku. Kematian yang menyakitkan. Kematian yang tak terlihat darimana ia
berasal. Seperti angin. Menyerangku dari arah mana pun yang tak terlihat.
“Nara,
ini bukan kau!” Riska berteriak. Mungkin dia bosan. Melihatku bengong, tak
banyak berkata dan sibuk dengan kebekuan dalam otakku. “Kamu pikir, kebekuan
dalam otakmu itu bisa mencair dengan kebisuan. Jika kau tak bicara, mana ada
orang lain yang mengerti apa yang kau rasakan?”
“Kau
tahu tanpa aku harus berbicara kepadamu.”
“Bodoh!
Itu karena aku temanmu. Bagaimana dengan yang lain? Mereka yang peduli
terhadapmu.”
Hening.
Detik jam yang berputar seperti jarum yang sengaja ditancapkan pada tubuhku.
Riska menatapku putus asa. Bosan, ia melempar buku dipangkuanku. “Hujan Bulan
Juni”. Entah apa yang akan ia perbuat padaku dengan buku itu.
“Baca!”
“Apa
yang kau harapkan?”
“Aku
bilang, baca!”
Tak
tertarik. Otakku terlalu beku. Membekukan pula ujung-ujung jemariku. Bahkan
sekadar membuka lembaran yang berisi mantra yang mampu menyihirku.
“Kau
tahu apa yang membuat otakmu beku! Kau sombong, Nara. Bahkan untuk menengok
buku di depanmu pun kau terlalu sombong.”
“Kau
tak mengerti Ris...”
Gerimis
bulan Juni menamparku. Bukankah tak ada
yang lebih bijak dari bulan hujan Juni dihapusnya
jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu*.
“Bukankah
aku pernah bilang, aku melihat sesuatu yang ada dalam dirimu. Tak banyak orang
lain mempunyai apa yang ada dalam dirimu. Mungkin tidak sekarang. Setidaknya
kau tak harus lelah berusaha.”
Mungkin
benar, pada suatu hari nanti. Bukankah Sapardi juga menuliskannya? Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada
lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri**.
Bukankah Chairil Anwar namanya begitu dikenal setelah kematiannya? Setidaknya
aku tak lelah berusaha. Menghadapi kematianku yang kedua.
Tuban,
19 Maret 2014
*Hujan Bulan Juni sajak
Sapardi Djoko Damono
**Pada Suatu Hari Nanti sajak Sapardi Djoko Damono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar