Kamis, 21 April 2016

Kematian Kedua




http://charaaw.blogspot.co.id
Aku pernah mati sekali. Sedang kini, aku menghadapi kematianku yang kedua.
Aku terpaku pada sudut asing yang memasung otak. Asing yang menyesatkanku dalam labirin panjang. Menjauhkanku dari diksi, metafor dan narasi yang beku. Aahh, sajak. Narasi. Aku meramu dengan bumbu penyedap yang terlalu asin. Bahkan hingga terasa pahit. Jari-jariku telah lama mati. Tak menyuarakan apa pun. Apa pun yang ada dalam otak tumpulku. Deretan buku di rak yang selalu menggoda tak lagi mampu merayu. Lagi, aku terdampar dalam kematian yang kelabu.

“Nara, menurutmu sosok Sapardi Djoko Damono itu seperti apa?” tanya Riska masih mendebatkan hal yang sama. Mendebatkan sosok HAMKA, Taufik Ismail, Chairil Anwar, W.S Rendra, dan sederet nama yang sering kita jumpai dalam kitab lusuh yang diberikan dosen.
Benar-benar lusuh. Kami sebagai mahasiswa tak pernah disuguhkan buku bersampul mengkilap dengan kata-kata seperti mantra. Kata-kata yang mampu menyihir, bahkan hanya dengan membaca judulnya. Hanya lembaran-lembaran putih yang kami salin dari papan tulis. Bukankah kita kuliah untuk mendapatkan fasilitas yang memadai? Jika kita tak mencari bahan lain untuk dibaca, darimana asal pengetahuan yang dijunjung begitu tinggi? Itu pun terkadang tidak sesuai dengan ilmu yang ia terapkan.
Sistem yang aneh. Orang itu hanya berkoar tentang teori kosong. Teori yang telah tergeser pada kenyataan modern yang mengerikan. Bukankah hal serupa yang membuat otakku beku? Beku pada kenyataan yang mengerikan. Seperti Izra’il yang bersiap mencengkramku dari berbagai sudut kelam. Menyeretku pada kematian kedua.
“Nara, kau bisu?”
Sunyi. Tak ada kata yang mampu aku suarakan. Otakku membeku. Sedang gadis berjilbab yang duduk di sebelahku masih tafakur dengan buku yang ada dalam genggamannya. Sesekali melirikku yang tak berkata sepatah pun. Bahkan hanya untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Nyatanya sunyi memasung bibir. Aku tak tertarik berdebat dengannya tentang sosok yang begitu ia kagumi. Aku pun mengaguminya. Tidak untuk berdebat kali ini.
“Dia sosok yang pendiam, hampir tak banyak bicara. Kau pernah baca sajaknya? Siapa pun akan tersihir dengan ramuan sajak yang ia tulis,” kata Riska pelan.
Entah pada siapa ia berkata. Semacam kalimat yang hanya akan menjadi kesia-siaan. Memantul pada kosong yang justru membuatku menderita pada kematian. Kematian kedua yang menjeratku.
Aku pernah mendengarnya Riska. Mereka yang berkisah tentang sosok yang kau kagumi itu. Tapi kali ini, aku tidak ingin mendebatkannya denganmu. Batinku berteriak pilu.
“Kau tahu sajaknya yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti?” suara Riska menunjukkan semangat yang tak memudar. Memancingku untuk berbicara, atau semacam berusaha memunculkan sepatah kata. Otakku terlalu beku untuk berbicara kepadanya. Dalam hal apapun.
“Menurutku, kau bisa menjadi seperti dia Nara. Aku melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Tak banyak orang lain mempunyai apa yang ada dalam dirimu. Keteguhan hati, kerja keras dan...”
“Tidak, kau tidak mengerti kali ini.” Mendengar pernyataan Riska aku terusik. Pada akhirnya aku menumpahkan kekesalan yang semakin kuat mencengkram hatiku. “Kau tak tahu, Ris. Sebagian dalam tubuhku telah mati.”
“Siapa bilang? Kau masih mampu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen itu ‘kan? Itu tandanya kau belum mati. Mungkin, semacam bunga layu.”
“Pembicaraan kita tak masuk akal, Ris. Sebaiknya aku pulang.”
Aku melenggang meninggalkan kelas yang sudah sepi. Riska tak menahan langkahku. Dia tahu, sebagai teman yang bisa memahamiku, dia tahu jika aku tak perlu membicarakan apapun dengannya. Tidak juga kekacauan dalam diriku.
*                      *                      *
“Pengkhayal!” teriakan itu masih terpasung dengan jiwaku. Menyesatkan aku pada beku yang membuatku menggigil. Menuju kematianku.
Aku pernah mati sekali. Kematian yang mencabik setiap desir jantung hingga membuatku lumpuh. Tak berdaya di bawah sorot mata pembunuhku. Pembunuh yang tidak hanya menikamkan belati berkali-kali, tapi juga menyayat setiap jengkal isi otakku. Memburainya dan entah ia buang kemana. Kini, aku menghadapi kematianku yang kedua. Kematian yang bahkan lebih menyakitkan daripada kematianku yang pertama.
Kau tak percaya jika aku pernah mati? Kau tak percaya jika aku kini menghadapi kematianku yang kedua? Tapi sungguh, aku pernah mati sekali. Sekarang aku menghadapi kematianku yang kedua.
Aku pernah mati sekali. Kematian yang membaurkan luka busuk hingga detik ini. Kematian yang menjadikan otakku mengering. Kematian yang menghancurkan organ dalam tubuhku. Hati. Bukan jasad yang membusuk. Menghilangkan ruh dan juga raga yang rentan. Bukan seperti itu kematian yang kuhadapi.
Kematianku yang pertama. Dia yang membawakannya. Seorang iblis lelaki yang juga memiliki darah yang kumiliki. Ketika malam, ia mengendap-endap dalam kamar. Mencari sekotak imajinasi yang aku sembunyikan di otakku yang tak pernah berhenti bermimpi. Ia mengeluarkan belati. Menusukku berkali-kali. Memburai isi otakku. Mencuri kotak imajinasiku dan melenyapkannya. Entah kemana.
“Pengkhayal! Mau jadi apa kamu!”
Suaranya menjadi gaung. Pada dinding-dinding kamar. Pada sap-sap otakku. Pada setiap inchi hati yang telah ia tikam belati. Bahkan ketika aku bermimpi sedang berdiskusi dengan Chairil Anwar, Selasih, maupun Abdul Muis. Suara itu menjadi gaung yang menjadikanku hampir gila.
“Pengkhayal! Ibu menyekolahkanmu bukan untuk menjadi pemimpi! Kau, satu-satunya anak yang beruntung. Bisa sekolah hingga perguruan tinggi. Apa hanya untuk jadi seorang pengkhayal?”
Suaranya menjadi ritme yang berdegub seirama jantungku. Suara yang mendamparkan aku ada kematian. Mematahkan semacam impian. Impian yang telah aku pahatkan dalam hati. Sejak aku terbiasa meramu sajak dengan bumbu pelengkap semacam diksi dan metafor yang selalu menari. Tapi dia membawakan kematian untukku. Ia remukkan semua metafor dan diksi yang kurayu dengan sarkasme. Sarkasme yang mendengking dalam telingaku.
Coba kau tebak bagaimana aku bisa hidup dari kematian? Tak mudah. Mungkin ini pembalasan dendam untuk kematianku. Suatu malam, aku membuntuti kemana ia pergi. Haha, aku tertawa saat menyadari tampat ia menyembunyikan kotak imajinasiku. Cerdik juga. Pantas saja aku tak pernah tahu dimana kotak imajinasiku ia sembunyikan.
Atap rumah. Satu-satunya tempat yang tak aku pikirkan. Susah payah aku merebut kotak imajinasi yang ia sembunyikan. Dia memang cerdik. Mana mungkin aku menjejaki atap rumah yang dijaga anjing berkepala tiga semacam Cerberus dan sosok perempuan berambut ular semacam Medusa. Kau membayangkannya? Sebelum aku berhadapan dengan mereka, aku harus menjajaki tembok-tembok tinggi agar mampu mencapai atap– tempat  menyimpan kotak imajinasiku. Tembok tinggi yang tak hanya dipenuhi pecahan beling. Juga duri tipis tak terlihat. Duri yang setiap saat mampu menusuk dan melukai.
Aku mencurinya, kotak imajinasi yang ia sembunyikan di atap rumah. Ketika ia tertidur dan lupa mengunci tempat menyimpan kehidupanku. Hidup. Aku hidup dari kematian pertamaku.
Kini aku menghadapi kematian yang kedua...
Otakku beku. Tak ada fiksi dan narasi yang mampu aku wujudkan. Tak ada diksi dan metafor yang mampu aku tuliskan. Mereka berlari. Meninggalkan aku pada sudut asing. Menyesatkanku dalam labirin pangjang yang semakin berliku. Darah menyerap siksa yang merasuk dalam tubuh. Kematian yang menyakitkan. Sedang dosen di depan kelas terus berorasi. Menyerukan teori-teori dari buku yang telah menguning.
Aku semakin beku. Kematian yang menyakitkan. Kematian yang tak terlihat darimana ia berasal. Seperti angin. Menyerangku dari arah mana pun yang tak terlihat.
“Nara, ini bukan kau!” Riska berteriak. Mungkin dia bosan. Melihatku bengong, tak banyak berkata dan sibuk dengan kebekuan dalam otakku. “Kamu pikir, kebekuan dalam otakmu itu bisa mencair dengan kebisuan. Jika kau tak bicara, mana ada orang lain yang mengerti apa yang kau rasakan?”
“Kau tahu tanpa aku harus berbicara kepadamu.”
“Bodoh! Itu karena aku temanmu. Bagaimana dengan yang lain? Mereka yang peduli terhadapmu.”
Hening. Detik jam yang berputar seperti jarum yang sengaja ditancapkan pada tubuhku. Riska menatapku putus asa. Bosan, ia melempar buku dipangkuanku. “Hujan Bulan Juni”. Entah apa yang akan ia perbuat padaku dengan buku itu.
“Baca!”
“Apa yang kau harapkan?”
“Aku bilang, baca!”
Tak tertarik. Otakku terlalu beku. Membekukan pula ujung-ujung jemariku. Bahkan sekadar membuka lembaran yang berisi mantra yang mampu menyihirku.
“Kau tahu apa yang membuat otakmu beku! Kau sombong, Nara. Bahkan untuk menengok buku di depanmu pun kau terlalu sombong.”
“Kau tak mengerti Ris...”
Gerimis bulan Juni menamparku. Bukankah tak ada yang lebih bijak dari bulan hujan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu*.
“Bukankah aku pernah bilang, aku melihat sesuatu yang ada dalam dirimu. Tak banyak orang lain mempunyai apa yang ada dalam dirimu. Mungkin tidak sekarang. Setidaknya kau tak harus lelah berusaha.”
Mungkin benar, pada suatu hari nanti. Bukankah Sapardi juga menuliskannya? Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri**. Bukankah Chairil Anwar namanya begitu dikenal setelah kematiannya? Setidaknya aku tak lelah berusaha. Menghadapi kematianku yang kedua.

Tuban, 19 Maret 2014

*Hujan Bulan Juni sajak Sapardi Djoko Damono
**Pada Suatu Hari Nanti sajak Sapardi Djoko Damono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar