![]() |
https://id.wikipedia.org/wiki/Ahasyweros_I_dari_Persia |
Bukan tanpa alasan
mereka memanggilnya begitu. Ahasveros. Seakan menjelma legenda entah sejak
kapan. Tiba-tiba saja ia muncul dan menjadi hal yang akan di ketahui semua
orang. Seperti siang itu, di bawah sebuah pohon tua di ujung jalan sebuah desa.
Tempat yang tak lagi asing namanya.
Seorang pria tengah baya berpakaian kumal, duduk memandang langit kosong. Wajahnya masih terlihat tampan meski tak terurus dan dekil. Ada yang berbeda. Mungkin aneh bagi sebagian orang.Tangannya akan menunjuk segumpal awan putih di angkasa. Terkadang ia bergumam tentang anak-anak, tentang seorang perempuan yang dipanggilnya ibu, entah apalagi yang terucap dari bibir pucatnya. Tak ada satupun yang tahu apa yang ia ucapkan. Tak jelas.
“Kau kawin, beranak dan
bahagia. Sedang aku menggembara serupa
Ahasveros*,” kalimat yang sering diucapkan. Lalu ia akan menggumam,”Ahasveros,
Ahasveros, Ahasveros.”
Begitulah, setelah
cukup lelah ia bergumam, ia akan kembali menyusuri jalan panjang. Bergumam
“Ahasveros” setiap melangkah. Jika lelah, berhenti di bawah pohon, atau entah
dimana pun ia ingin berhenti. Dan lagi-lagi menggumamkan “Ahasveros”. Lalu akan
berjalan lagi setelah hilang penat ditubuhnya. Entah kemana.
Ada seseorang dari
kampungnya pernah bercerita. Dulunya dia seorang sastrawan terkenal. Bukan
hanya terkenal, tapi juga memiliki pandangan yang begitu tajam saat
menggoreskan kata-kata. Mungkin salah satu dari sedikit yang ada di negeri ini.
Tak sedikit karyanya yang menyita perhatian masyarakat. Termasuk kaum borjuis
yang hedonis. Banyak bukunya yang dibaca orang. Banyak kata-katanya yang
menyihir pembaca untuk mengikuti jejaknya. Kritikus sastra pada masanya akan
selalu mengelu-elukan namanya.
Suatu ketika, dia
mengalami “kebutaan”. Apa pun yang ia tulis di atas kertas, hanya menjadi
lembaran hitam. Penerbit menolak naskahnya. Media mencetak namanya sebagai
sastrawan yang kehilangan jati diri. Kritikus hanya melihat dari segi negatif
dari tulisan-tulisannya. Terlebih
lagi, orang yang dicintainya melarikan diri di hari pernikahan mereka.
Entah bagaimana awal
mulanya. Orang yang dicintainya tiba-tiba
menikah dengan orang lain di hari pernikahan mereka. Katanya kekasihnya itu
kena pelet. Ada yang bilang pula bahwa dia terlalu miskin untuk kehidupan calon
istrinya yang glamour.
Lebih mengesankan orang,
dia terlalu terobsesi dengan kebenaran alam. Tentang jati diri seorang manusia
yang berjalan di muka bumi. Tentang keserakahan manusia yang selalu menyita
hak-hak suatu kaum. Tentang “kebutaan”nya yang mendadak menjadikan hidupnya
kelabu. Ia terlalu keras mencari dan terus mencari kebenaran dirinya. Namun ia
tak bisa mengontrol dirinya, hingga akhirnya menjadi gila. Karirnya hancur
tanpa bisa dia cegah.
Entahlah, semua kabar
tentangnya tak jelas. Yang lebih dikenal orang adalah kisahnya yang terakhir.
Karena memang, pada masanya ia seorang sastrawan yang benar-benar dilihat
keberadaannya. Walaupun kisah kekasihnya yang melarikan diri itu tak juga
dilupakan orang.
* * *
“Ahasveros, Ahasveros,
Ahasveros.”
Lelaki itu masih saja
berjalan dan menggumamkan apa yang ia gumamkan hari kemarin, kemarin, kemarin
dan kemarinya lagi. Satu-satunya yang berbeda adalah jalan yang ia tapaki. Jika
kemarin di perkampungan kumuh, bisa jadi hari ini di jalan raya dan esok di
perumahan elit. Seperti tanpa lelah, ia masih terus berjalan menyusuri jalanan
panjang. Entah kemana pula ia akan melangkah.
Beberapa anak kecil
mengikutinya dari belakang dan berteriak,”Orang gila, orang gila, orang gila,
orang gila!” Mereka akan segera berlari pergi saat pria itu berbalik dan melihat
mereka dengan pandangan yang... sayu, sendu. Mungkin pula terluka.
“Ahasveros, Ahasveros,
Ahasveros. Kau kawin, beranak dan bahagia. Sedang aku menggembara serupa
Ahasveros.”
Perbuatannya itu akan
menimbulkan tanya orang yang menggunakan badan jalan yang sama. Orang-orang
yang kebetulan berjalan dengan temannya, akan sejenak berhenti dan melihat
kelakuan pria itu. Yang pernah mendengar cerita tentang pria itu dari temannya,
akan berbisik pula pada temannya yang lain.
“Ternyata benar, orang
itu selalu menggumamkan kalimat yang sama,” kata seorang wanita yang kebetulan
bersisipan dengannya. Tempo hari temannya bercerita bahwa tentang pria yang
selalu menggumamkan “Ahasveros” itu.
“Apa maksudmu?” Seorang
temannya menimpali pernyataan wanita itu.
“Orang itu. Ahasveros.
Dia akan menggumamkan kata yang sama setiap saat. Katanya dia dulu seorang
filsuf terkenal. Tapi gila karena ingin mencari jati diri yang entah berwujud
apa menurutnya. Kau tahu, seperti Ahasveros.”
Maka orang yang telah
mendengar pernyataan tersebut entah ke seribu berapa, akan mengangguk. Hanya
sekedar mengangguk tanpa benar-benar peduli. Hanya sebatas membuat lawan
bicaranya merasa dihargai. Setelah itu akan berlalu. Jika mereka termasuk
orang-orang yang suka membicarakan hal-hal semacam itu, maka apa yang mereka
lihat hari itu tak akan luput dari pembicaraannya. Dengan siapa pun, dimana pun
dan dalam suasana apa pun. Dan jika esok hari orang-orang baru itu
menjumpainya, akan membenarkan perkataan temannya itu.
* * *
Malam hari. Masih
tentang seorang pria setengah baya yang sama. Langkahnya berhenti di sebuah
jembatan di tepi kota. Sesekali ia melongokkan kepalanya untuk melihat air
sungai yang keruh. Gumamnya masih sama.
“Ahasveros, Ahasveros,
Ahasveros. Kau kawin, beranak dan bahagia. Sedang aku menggembara serupa
Ahasveros.”
Orang-orang baru yang
bertemu akan berbisik-bisik.
“Kau dengar yang dia
katakan?”
“Bukankah dia sastrawan
yang itu?”
“Ya, dia memang
sastrawan yang ditinggal lari kekasihnya di hari pernikahan mereka.”
Cerita tentang
“Ahasveros” tak berhenti di sana. Kabar pria setengah baya itu akan menyebar
lagi. Lebih luas. Lebih banyak orang yang tahu keberadaannya. Lebih banyak yang
mendengar cerita tentangnya. Lalu mereka akan menyeletuk,”Ahasveros” ketika
berjumpa suatu waktu. Masih berputar. Masih menyebar. Ahasveros.
Begitulah mereka
menyebutnya. Ahasveros. Karena hanya kata itulah yang sering terdengar dari
mulut pria tampan bertubuh dekil dan kumuh itu. Tanpa ada yang peduli. Tanpa
ada satu pun dari mereka mengingat namanya. Tanpa ada yang ingin tahu, siapa
Ahasveros yang selalu ia gumamkan setiap waktu.
* * *
Mungkin ini hari
ke-10950 pria itu menyusuri jalanan. Terik matahari memaksanya berhenti. Ia
tertawa saat melintasi sebuah rumah besar di pinggir jalan. Pintu gerbangnya
yang terbuka, membuatnya tertarik untuk masuk ke halaman rumah orang kaya itu.
Lagi-lagi ia tertawa saat menghitung mobil yang berjajar di bagasi.
“Ahasveros, Ahasveros,
Ahasveros,” ucapnya menghitung mobil yang berjajar sambil tertawa.
Mungkin kantuk yang
membuatnya berputar di halaman, lalu merebahkan tubuhnya di atas rumput taman. Ia
menghitung awan yang berarak lepas di langit. Hingga akhirnya tertidur
meringkuk di bawah pohon kamboja. Masih di halaman rumah orang kaya.
Menjelang senja,
pemilik rumah terkejut saat melihat pria itu tertidur di halaman rumahnya.
Melihat cara berpakaiannya, pemilik rumah sepertinya seorang pegawai pemerintah
bergaji tinggi.
“Ahasveros. Sebuah
kebetulan, atau mungkin rencana Tuhan?” katanya pelan. Takut akan ada orang
lain yang mendengar. Dan sepertinya, cerita tentang pria setengah baya itu
telah sampai pula padanya.
* * *
Esoknya seorang penyiar
berita pagi, mengabarkan pada seluruh dunia. Seorang pejabat pemerintah yang
diduga melakukan tindakan korupsi uang rakyat, telah ditemukan mati mengambang
di sebuah sungai. Diduga seseorang tak dikenal sengaja membunuhnya. Lalu
membuang mayatnya di sungai. Terakhir kali ia terlihat sedang berbincang dengan
seseorang bertubuh dekil di tepi sungai tempat mayatnya ditemukan.
Anggota badannya
lengkap dan tak ada satupun barang yang hilang. Hanya ada satu hal yang
seharusnya pada tempatnya, tapi tak ada.
Wajah.
Masyarakat yang pagi
itu kebetulan melihat dan mendengar beritanya hanya mengutuki perbuatan si
koruptor. Bersyukur bahwa seseorang telah mengantarkannya ke neraka. Selebihnya
tak ada yang peduli. Kabar serupa akan terjadi setiap hari. Meski baru kali ini
ada seorang koruptor yang mayatnya di temukan mengambang di sebuah sungai.
Di tempat lain. Setelah
mendengar berita lewat radio kecil, Ahasveros tertawa terbahak-bahak.
Aneh.
Tuban, 14 Juli 2013
Keren banget
BalasHapus