Kamis, 21 April 2016

Ahasveros



https://id.wikipedia.org/wiki/Ahasyweros_I_dari_Persia

 Bukan tanpa alasan mereka memanggilnya begitu. Ahasveros. Seakan menjelma legenda entah sejak kapan. Tiba-tiba saja ia muncul dan menjadi hal yang akan di ketahui semua orang. Seperti siang itu, di bawah sebuah pohon tua di ujung jalan sebuah desa. Tempat yang tak lagi asing namanya.

Seorang pria tengah baya berpakaian kumal, duduk memandang langit kosong. Wajahnya masih terlihat tampan meski tak terurus dan dekil. Ada yang berbeda. Mungkin aneh bagi sebagian orang.Tangannya akan menunjuk segumpal awan putih di angkasa. Terkadang ia bergumam tentang anak-anak, tentang seorang perempuan yang dipanggilnya ibu, entah apalagi yang terucap dari bibir pucatnya. Tak ada satupun yang tahu apa yang ia ucapkan. Tak jelas.
“Kau kawin, beranak dan bahagia. Sedang aku menggembara serupa Ahasveros*,” kalimat yang sering diucapkan. Lalu ia akan menggumam,”Ahasveros, Ahasveros, Ahasveros.”
Begitulah, setelah cukup lelah ia bergumam, ia akan kembali menyusuri jalan panjang. Bergumam “Ahasveros” setiap melangkah. Jika lelah, berhenti di bawah pohon, atau entah dimana pun ia ingin berhenti. Dan lagi-lagi menggumamkan “Ahasveros”. Lalu akan berjalan lagi setelah hilang penat ditubuhnya. Entah kemana.
Ada seseorang dari kampungnya pernah bercerita. Dulunya dia seorang sastrawan terkenal. Bukan hanya terkenal, tapi juga memiliki pandangan yang begitu tajam saat menggoreskan kata-kata. Mungkin salah satu dari sedikit yang ada di negeri ini. Tak sedikit karyanya yang menyita perhatian masyarakat. Termasuk kaum borjuis yang hedonis. Banyak bukunya yang dibaca orang. Banyak kata-katanya yang menyihir pembaca untuk mengikuti jejaknya. Kritikus sastra pada masanya akan selalu mengelu-elukan namanya.
Suatu ketika, dia mengalami “kebutaan”. Apa pun yang ia tulis di atas kertas, hanya menjadi lembaran hitam. Penerbit menolak naskahnya. Media mencetak namanya sebagai sastrawan yang kehilangan jati diri. Kritikus hanya melihat dari segi negatif dari tulisan-tulisannya. Terlebih lagi, orang yang dicintainya melarikan diri di hari pernikahan mereka.
Entah bagaimana awal mulanya. Orang yang dicintainya tiba-tiba menikah dengan orang lain di hari pernikahan mereka. Katanya kekasihnya itu kena pelet. Ada yang bilang pula bahwa dia terlalu miskin untuk kehidupan calon istrinya yang glamour.
Lebih mengesankan orang, dia terlalu terobsesi dengan kebenaran alam. Tentang jati diri seorang manusia yang berjalan di muka bumi. Tentang keserakahan manusia yang selalu menyita hak-hak suatu kaum. Tentang “kebutaan”nya yang mendadak menjadikan hidupnya kelabu. Ia terlalu keras mencari dan terus mencari kebenaran dirinya. Namun ia tak bisa mengontrol dirinya, hingga akhirnya menjadi gila. Karirnya hancur tanpa bisa dia cegah.
Entahlah, semua kabar tentangnya tak jelas. Yang lebih dikenal orang adalah kisahnya yang terakhir. Karena memang, pada masanya ia seorang sastrawan yang benar-benar dilihat keberadaannya. Walaupun kisah kekasihnya yang melarikan diri itu tak juga dilupakan orang.
*                      *                      *
“Ahasveros, Ahasveros, Ahasveros.”
Lelaki itu masih saja berjalan dan menggumamkan apa yang ia gumamkan hari kemarin, kemarin, kemarin dan kemarinya lagi. Satu-satunya yang berbeda adalah jalan yang ia tapaki. Jika kemarin di perkampungan kumuh, bisa jadi hari ini di jalan raya dan esok di perumahan elit. Seperti tanpa lelah, ia masih terus berjalan menyusuri jalanan panjang. Entah kemana pula ia akan melangkah.
Beberapa anak kecil mengikutinya dari belakang dan berteriak,”Orang gila, orang gila, orang gila, orang gila!” Mereka akan segera berlari pergi saat pria itu berbalik dan melihat mereka dengan pandangan yang... sayu, sendu. Mungkin pula terluka.
“Ahasveros, Ahasveros, Ahasveros. Kau kawin, beranak dan bahagia. Sedang aku menggembara serupa Ahasveros.”
Perbuatannya itu akan menimbulkan tanya orang yang menggunakan badan jalan yang sama. Orang-orang yang kebetulan berjalan dengan temannya, akan sejenak berhenti dan melihat kelakuan pria itu. Yang pernah mendengar cerita tentang pria itu dari temannya, akan berbisik pula pada temannya yang lain.
“Ternyata benar, orang itu selalu menggumamkan kalimat yang sama,” kata seorang wanita yang kebetulan bersisipan dengannya. Tempo hari temannya bercerita bahwa tentang pria yang selalu menggumamkan “Ahasveros” itu.
“Apa maksudmu?” Seorang temannya menimpali pernyataan wanita itu.
“Orang itu. Ahasveros. Dia akan menggumamkan kata yang sama setiap saat. Katanya dia dulu seorang filsuf terkenal. Tapi gila karena ingin mencari jati diri yang entah berwujud apa menurutnya. Kau tahu, seperti Ahasveros.”
Maka orang yang telah mendengar pernyataan tersebut entah ke seribu berapa, akan mengangguk. Hanya sekedar mengangguk tanpa benar-benar peduli. Hanya sebatas membuat lawan bicaranya merasa dihargai. Setelah itu akan berlalu. Jika mereka termasuk orang-orang yang suka membicarakan hal-hal semacam itu, maka apa yang mereka lihat hari itu tak akan luput dari pembicaraannya. Dengan siapa pun, dimana pun dan dalam suasana apa pun. Dan jika esok hari orang-orang baru itu menjumpainya, akan membenarkan perkataan temannya itu.
*                      *                      *
Malam hari. Masih tentang seorang pria setengah baya yang sama. Langkahnya berhenti di sebuah jembatan di tepi kota. Sesekali ia melongokkan kepalanya untuk melihat air sungai yang keruh. Gumamnya masih sama.
“Ahasveros, Ahasveros, Ahasveros. Kau kawin, beranak dan bahagia. Sedang aku menggembara serupa Ahasveros.”
Orang-orang baru yang bertemu akan berbisik-bisik.
“Kau dengar yang dia katakan?”
“Bukankah dia sastrawan yang itu?”
“Ya, dia memang sastrawan yang ditinggal lari kekasihnya di hari pernikahan mereka.”
Cerita tentang “Ahasveros” tak berhenti di sana. Kabar pria setengah baya itu akan menyebar lagi. Lebih luas. Lebih banyak orang yang tahu keberadaannya. Lebih banyak yang mendengar cerita tentangnya. Lalu mereka akan menyeletuk,”Ahasveros” ketika berjumpa suatu waktu. Masih berputar. Masih menyebar. Ahasveros.
Begitulah mereka menyebutnya. Ahasveros. Karena hanya kata itulah yang sering terdengar dari mulut pria tampan bertubuh dekil dan kumuh itu. Tanpa ada yang peduli. Tanpa ada satu pun dari mereka mengingat namanya. Tanpa ada yang ingin tahu, siapa Ahasveros yang selalu ia gumamkan setiap waktu.
*                      *                      *
Mungkin ini hari ke-10950 pria itu menyusuri jalanan. Terik matahari memaksanya berhenti. Ia tertawa saat melintasi sebuah rumah besar di pinggir jalan. Pintu gerbangnya yang terbuka, membuatnya tertarik untuk masuk ke halaman rumah orang kaya itu. Lagi-lagi ia tertawa saat menghitung mobil yang berjajar di bagasi.
“Ahasveros, Ahasveros, Ahasveros,” ucapnya menghitung mobil yang berjajar sambil tertawa.
Mungkin kantuk yang membuatnya berputar di halaman, lalu merebahkan tubuhnya di atas rumput taman. Ia menghitung awan yang berarak lepas di langit. Hingga akhirnya tertidur meringkuk di bawah pohon kamboja. Masih di halaman rumah orang kaya.
Menjelang senja, pemilik rumah terkejut saat melihat pria itu tertidur di halaman rumahnya. Melihat cara berpakaiannya, pemilik rumah sepertinya seorang pegawai pemerintah bergaji tinggi.
“Ahasveros. Sebuah kebetulan, atau mungkin rencana Tuhan?” katanya pelan. Takut akan ada orang lain yang mendengar. Dan sepertinya, cerita tentang pria setengah baya itu telah sampai pula padanya.
*                      *                      *
Esoknya seorang penyiar berita pagi, mengabarkan pada seluruh dunia. Seorang pejabat pemerintah yang diduga melakukan tindakan korupsi uang rakyat, telah ditemukan mati mengambang di sebuah sungai. Diduga seseorang tak dikenal sengaja membunuhnya. Lalu membuang mayatnya di sungai. Terakhir kali ia terlihat sedang berbincang dengan seseorang bertubuh dekil di tepi sungai tempat mayatnya ditemukan.
Anggota badannya lengkap dan tak ada satupun barang yang hilang. Hanya ada satu hal yang seharusnya pada tempatnya, tapi tak ada.
Wajah.
Masyarakat yang pagi itu kebetulan melihat dan mendengar beritanya hanya mengutuki perbuatan si koruptor. Bersyukur bahwa seseorang telah mengantarkannya ke neraka. Selebihnya tak ada yang peduli. Kabar serupa akan terjadi setiap hari. Meski baru kali ini ada seorang koruptor yang mayatnya di temukan mengambang di sebuah sungai.
Di tempat lain. Setelah mendengar berita lewat radio kecil, Ahasveros tertawa terbahak-bahak.
Aneh.
Ganjil.

Tuban, 14 Juli 2013

*Sajak Chairil Anwar “Tak Sepadan”

1 komentar: